Atambua, 17 September 2025 – Perbatasan bukan hanya soal pintu keluar-masuk, melainkan juga ruang hidup bersama yang menyatukan masyarakat Indonesia dan Timor Leste. Hal ini ditegaskan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Kerjasama Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Anggiat Napitupulu, S.H., M.Si., dalam kegiatan Sharing Session Stakeholder Perlintasan Batas Negara Indonesia – Timor Leste di Aula PLBN Motaain.
Dalam paparannya, Anggiat menekankan bahwa pengelolaan perbatasan tidak hanya terkait isu keamanan (security issue), tetapi juga faktor sosial, budaya, dan ekonomi. “Wilayah perbatasan punya potensi besar, termasuk pasar rakyat lintas batas. Jika dikelola dengan baik, pasar ini bisa menjadi salah satu jawaban untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat di batas timur negeri,” ungkap Anggiat.
Menurutnya, pasar tradisional perbatasan seperti pasar tradisional Motaain, perlu dikembangkan kembali agar tidak hanya menjadi pusat transaksi ekonomi, tetapi juga media pengikat kebersamaan antarwarga dua negara. Ia menilai bahwa keberadaan pasar rakyat di kedua sisi—Indonesia dan Timor Leste—akan memberikan solusi konkret terhadap persoalan jalur tikus yang sering dimanfaatkan warga untuk alasan ekonomi.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi NTT, Arvin Gumilang, menambahkan bahwa pengelolaan perbatasan harus diarahkan pada keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan masyarakat. “Membangun pasar lintas batas bukan sekadar proyek ekonomi, tapi bagian dari strategi besar menjaga stabilitas kawasan. Jika masyarakat sejahtera, maka keamanan otomatis akan lebih mudah dijaga,” tegas Arvin.
Senada dengan itu, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II TPI Atambua, Putu Agus Eka Putra, menekankan pentingnya langkah operasional untuk merealisasikan gagasan pasar lintas batas. “Imigrasi siap mendukung dari sisi regulasi keimigrasian, termasuk pemberian pas lintas batas yang lebih terarah. Dengan begitu, aktivitas masyarakat di pasar dapat berjalan legal, aman, dan menguntungkan kedua belah pihak,” ujarnya.
Bupati Belu turut menegaskan bahwa perbatasan Indonesia–Timor Leste adalah salah satu perbatasan teraman di dunia, di mana masyarakatnya memiliki ikatan budaya dan bahasa yang sama. Oleh karena itu, memperkuat pasar rakyat di perbatasan berarti memperkuat persaudaraan dan membuka ruang transaksi ekonomi yang lebih sehat.
Kegiatan ini juga melibatkan perwakilan TNI, Polri, Bea Cukai, Karantina, BNPP PLBN Motaain, Pemda Belu, serta stakeholder dari Timor Leste. Diskusi menghasilkan sejumlah rekomendasi, di antaranya perpanjangan jam operasional PLBN dengan catatan penguatan keamanan, peningkatan koordinasi lintas instansi, hingga usulan revisi perjanjian bilateral yang telah berjalan lebih dari 10 tahun.
Sebagai penutup, Anggiat menegaskan bahwa solusi terbaik atas berbagai isu perbatasan adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan ekonomi lintas batas. Pasar rakyat akan menjadi motor penggerak ketahanan pangan, wadah persahabatan dua bangsa, sekaligus benteng alami untuk menekan praktik ilegal di jalur tikus.
“Dari perbatasan timur negeri, kita kirim pesan kuat: kolaborasi, ketahanan pangan, dan kesejahteraan masyarakat adalah benteng sejati kedaulatan bangsa,” pungkas Anggiat dengan optimis. (*)